Eksistensi Budaya Tionghoa dan Agama Khonghucu di Indonesia
Posted in
Label:
Tulisan
|
di
2/23/2013 10:14:00 AM
Eksistensi Budaya Tionghoa dan Agama Khonghucu di Indonesia
Oleh:
Andi Misbahul
Pratiwi
Taman Mini Indonesia indah (TMII)
didirikan pada tanggal 20 April 1975 atas inisiatif Ibu Hj. Fatimah Sita
Hartinah Soeharto atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto.
Tujuannya untuk memperkenalkan kekayaan alam dan budaya indonesia dalam wujud
mini. Di dalam TMII digambarkan seluruh keragaman Indonesia, mulai dari
Keragaman Budaya, Agama, Hewani dan Hayati. Berbagai Anjungan Budaya, Rumah
Ibadat, Miniatur Teknologi, Museum, dan Kekayaan alam Indonesia ditampilkan di
TMII ini.
Indonesia sebagai bangsa yang
pluralisme yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama menuntut masyarakat
yang saling menghargai keyakinan masing-masing. Penduduk Indonesia terdiri dari
masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang, salah satu masyarakat pendatang
yang memiliki populasi cukup dominan di Indonesia, sebagian besar berasal dari
Negeri Cina yang identik dengan
kebudayaan Tionghoa dan Agama Khonghucunya. Selain budaya-budaya asli
leluhur, bangsa indonesia kini pun menerima kehadiran masyarakat Tionghoa dan
agama Khonghucu di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan beragama yang
berasakan pancasila setalah zaman orde baru. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya
Taman Budaya Tionghoa dan Klenteng “Kong Miao” di dalam Taman Mini Indonesia
Indah.
Taman Budaya Tionghoa yang berada
disamping Museum Prangko TMII di resmikan oleh H.M Soeharto selaku Ketua umum
yayasan Harapan kita, pada 8 November 2006. taman budaya tionghoa ini terdiri
dari 5 koridor utama dibagian depan, dan
terdapat 5 bangunan khas tionghoa yang terdiri dari : Paguyuban sosial marga
Tionghoa, aula budi luhur, wisma budaya marga Zhou, wisma budaya Wu. Selain
bangunan tersebut Taman Budaya Tionghoa ini memanjakan pengunjung dengan
hadirnya monumen cerita rakyat warga tionghoa seperti monumen Kera sakti dan
monumen Sampek Engtay.
Sejarah dan budaya tionghoa
terpelihara lebih dara 500 tahun, banyak diantaranya mempunyai makna dalam dan
luhur serta perlu dikenal dan dilestarikan, antara lain tentang hikayat Kera
sakti (Sunggokhong) dengan 2 kawan lainnya (cup pak kai dan sacun) meengantar
pendeta Tang Cen menuju barat/india untuk mengambil kitab suci Buddha.
Selain legenda Sunggokong ada cerita
rakyat mengenai legenda Sampek Engtay. Legenda Asmara ini (Sampek Engtay)
terjadi di Tiongkok pada Dinasti Chin dan beredar dalam masyarakat lebih dari
1460 tahun silam. Legenda ini juga sangat populer dalam masyarakat Indonesia
sampai sekarang. Konon pada Dinasti Chin seorang pemuda pelajar Lian Sampek
berkenalan dengan seorang gadis Engtay yang menyamar sebagai laki-laki dan
mereka bersekolah bersama, hubungan mereka sangat akrab dan mendalam serta
mereka mengikat diri sebagai saudara. Tiga tahun kemudian setelah selesai
sekolah, engtay pulang kerumah dan Sampek mengantarkannya sejauh 9 Km, rasanya
sangat berat sekali bagi Sampek dan Engtay untuk berpisah satu sama lain.
Akhirnya setelah lama bersama akhirnya keluarga sampik melamar Chu Engtay namun
lamaranya ditolak oleh keluarga engtay. Sampek sangan terpukul dan sedih
sehingga sakit dan akhirnya meninggal. Konon ketika engtay ingin dijodohkan
oleh Ma, Engtay pergi sembahyang ke makam sampek dengan penuh kedukaan yang
pada akhirnya menyebabkan langit gelap, angin ribut dan halilintar. Makam
engtay terbelah dan engtay melompat ke dalam makam, setelah itu mereka berdua
Sampek dan Engtay berubanh menjadi sepasang Kupu-Kupu yang hidup abadi bersama.
Dalam Kebudayaan Tionghoa diyakini
legenda-legenda seperti yang telah dipaparkan diatas, namun sebenarnya legenda
tersebut bersifat fiktif atau bisa disebut sebagai cerita rakyat yang turun
menurun dari leluhur mereka. Cerita Rakyat ini dituliskan dalam Monumen di
taman Kebudayaan Tionghoa, sehingga siapapun yang berkunjung ke taman ini dapat
melihat langsung objek tokoh dalam cerita rakyat Tionghoa.
Taman Mini Indonesia Indah juga
menghadirkan miniatur rumah ibadat agama dan keyakinan yang banyak dipeluk
penduduk Indonesia dalam satu area
khusus secara berderet : Masjid, Gereja Katholik, Gereja kristen, Pura, Vihara (Klenteng),
dan Sasana Adirasa.
02 Februari 2009, mulailah dilakukan
pembangunan Klenteng Kong Miao atau rumah ibadat agama Khonghucu, yang terdiri
atas Tian Tan, Da Cheng Dian dan Qi fu dian. Peletakan batu pertama dilakukan
menteri agama republik Indonesia, Dr. H.M. Maftuh Basyuni. Peresmian dilakukan
pada tanggal 23 Desember 2010.
Sebagaimana layaknya Kelenteng, Kong
Miao juga dilengkapi tempat pembakaran hioswa, pintu gerbang, dll. Di halaman
Kong Miao terdapat sepasang Singa, Pintu Gerbang, Sepasang Naga, Kilin, Patung
12 Shio, kura-kura Kepala Naga dsb.
Rini yang telah menjadi staff
Klenteng “Kong Miao” selama 1 tahun ini menjelaskan tentang
kegiatan-kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan di Klenteng “Kong Miao”.
“Klenteng ini dijadikan tempat ibadah untuk penganut khonguchu, biasanya umat
khonghucu beribadah rutin setiap tanggal 1 dan 15 pada kalender khonghucu, dan
masyarakat umum ramai beribadah pada hari sabtu dan minggu”. Tuturnya ketika
ditemui diruangan staff Klenteng Kong Miao.
Di Indonesia khonghucu dianggap sebagai sebuah keyakinan.
Namun sebenarnya didaerah asal khonghucu
itu sendiri adalah sebagai pendidikan dasar di negeri cina yang wajib
dipelajari oelhe semua warganya. Khonghucu sebagai sebuah agama dan tionghoa
sebagai sebuah Budaya, keduanya tidak bisa disejajarkan dalam satu garis lurus,
karena sebuah Agama dan Culture memiliki arti dan makna yang
berbeda, kedunya tidak bisa disandingkan dalam satu panggung kehidupan
berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian hadirnya budaya Tionghoa dan Agama
Khonghucu di Indonesia menambah warna kebhinekaan Indonesia.
0 Response to "Eksistensi Budaya Tionghoa dan Agama Khonghucu di Indonesia"