Mozaik Perjalanan Panjang: Perempuan
Posted in
Label:
Tulisan
|
di
6/05/2013 11:01:00 AM
Mozaik
Perjalanan Panjang: Perempuan
oleh:
Andi
Misbahul Pratiwi
Perempuan
dalam perjalanannya telah menembus batas ruang dan waktu, pemikirannya telah
melampaui masanya. Banyak orang yang tidak mengetahui secara detail perjalanan
panjang perjuangan perempuan. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami adalah
ungkapan yang cocok untuk menggambarkan betapa sulitnya menemukan peran
perempuan dalam sejarah. Banyak dari sejarahwan menuliskan sejarah yang
bersifat androcentric1. Peran perempuan dalam berbagai sektor serta
keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan tidak dapat dipungkiri
adanya. Bagaimanapun hilangnya perempuan dalam sebagian sejarah, namun realitas
perjuangan, gerakan, karya, dan tulisan perempuan ada.
Perempuan adalah istilah yang berasal dari bahasa
sansakerta, Per-empu-an = ahli. Jadi, dapat dikatakan bahwa perempuan adalah
seorang ahli. Kedengarannya sedikit diskriminatif jika kita hanya membahas dari
segi makna kata “Perempuan”. Dari segi Biologis, Seperti dikutip Kimura bahwa bagian
belakang corpus callosum, area yang
disebut splenium, lebih besar pada perempuan daripada laki-laki, sehingga interest pada corpus callosum timbul asumsi bahwa ukuran tersebut mengindikasikan
jumlah serat yang berhubungan dengan kedua belah otak2. Banyaknya
koneksi serat pada salah satu jenis kelamin implikasinya berkaitan dengan
komunikasi antar belahan otak. Konon “serat-serat” yang menjembatani antar area
di otak perempuan lebih tebal, dan para peneliti menyimpulkan bahwa perempuan
memiliki kemampuan memadukan banyak aspek kognitif dalam berfikir bukan cuma
rasio, emosi dan intusinya juga ikut rembuk3.
Kajian secara bahasa dan biologis sepertinya tidak cukup
meyakinkan kita, maka disinilah kajian history
dibutuhkan sebagai bahan pembanding. Sejauh ini sejarah yang khusus mengangkat
peran perempuan sangat sedikit. Bahkan perempuan sendirilah yang acap kali
berhasil menuliskannya. S.K Trimurti sang wartawan tiga zaman, Roehana
Koeddoes, dan Germanie Greer seorang jurnalis perempuan asal Melbourne telah
berhasil lewat tulisannya yang tajam menyoroti berbagai aspek kehidupan
perempuan ke media. Dan tentu saja sampai hari ini perempuan tetap exist di sudut ruang-ruang profesi
secara individu maupun kolektif. Fakta empirisnya dapat dilihat dari kehidupan
sehari-hari dimana sadar atau tidak, perempuan memiliki peran yang luas dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kaum adam pun turut andil didalamnya.
Pelopor
Sejak dulu perempuan tidak hanya dikenal sebagai sebuah
objek saja, entah sebagai objek sex,
budak ataupun pengikut. Perempuan sudah menjadi subjek dalam kehidupannya
sendiri maupun orang lain sejak lahir. Ketika terjadinya proses penyimpangan
fungsional dan makna antara objek-subjek ini maka yang akan timbul adalah
sebuah keinginan akan perubahan. Perubahan ini mengakibatkan sebuah usaha Movement. Alasan diataslah yang
mempelopori gerakan perempuan Internasional maupun Transnasional. Cengkraman kolonialisme,
imperialisme, nasionalisme dan rasisme yang mendorong sebuah pergerakan dan
pemikiran atas hak-hak sebagai manusia bebas pun lahir dari para tokoh feminis
dunia. Tokoh-tokoh feminis gelombang pertama waktu itu antara lain adalah perempuan
Belanda Aletta Jacobs, perempuan Bangladesh Begum Rokeya, dan perempuan
Indonesia Raden Ajeng Kartini. Mereka semua memperjuangkan hak-hak perempuan
dan mengutuk batasan-batasan Patriarkal dan agamis kolot yang memenjarakan
perempuan pada masa itu. Tiga dara tersebut bisa dikatakan sebagai seorang
Nasionalis, namun nasionalisme muslimah Bangladesh, perempuan Ningrat Indonesia
dan Wanita Belanda sangatlah berbeda.
Begum Rokeya Sakhawat Hossain lahir tahun 1880 di desa
Pairaband, Bangladesh Utara, di keluarga muslim kaya dan kolot. Semua perempuan
dalam keluarga itu harus menjalani purdah (pingitan) ketat, anak perempuan
dikurung dirumah dan anak laki-laki dibebaskan bersekolah dan bermain. Rokeya
belajar membaca dan menulis dari saudara laki-laki mereka dan ia mulai menulis
beberapa essai pada 1905. Rokeya mendirikan sekolah-sekolah di bhagalapur dan
kalkuta. Dia juga membentuk organisasi perempuan Anjuman-e-Khawatin-e-Islam,
yang menyediakan pekerjaan untuk perempuan muslim miskin, terutama janda dan
istri korban kekerasan dalam rumah tangga. Buku Rokeya tentang purdah yang penuh tragedi, ironi,
sekaligus humor, diterbitkan dengan judul The
Secluded Ones, menjadi buku yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan
pola pikir perempuan pada saat itu. Rokeya juga tergabung dengan gerakan
kebangkitan muslim Bangladesh dan sangat kritis terhadap Kolonialisme4.
Ia meninggal tahun 1932.
Raden Ajeng Kartini lahir tahun 1880, beberapa bulan
setalah Rokeya. Ayahnya Bupati Jepara, seorang dari sedikit bangsawan progresif
waktu itu yang mengirim anaknya sekolah ke Belanda supaya mereka bisa mencicipi
pendidikan modern, kebijakan pendidikan kolonial Belanda pada waktu itu sangat
kaku, sesuai dengan kebijakan kolonial Belanda yang memang rasis: hanya
Bangsawan tinggi Jawa yang boleh berbicara menggunakan bahasa Belanda kepada
pejabat tinggi kolonial Belanda5. Pada tahun 1903, Kartini
dinikahkan dengan bupati rembang, menjadi isteri keempat. Kartini meninggal
waktu melahirkan anak pertamanya, tahun 1904. Kartini mempunyai cita-cita untuk
membangun sekolah pondokan untuk anak perempuan seperti dia, dan ia ingin
mengambil ijasah guru di Belanda, namun hingga akhir hayatnya impian tersebut
belum dapat ia wujudkan, namun surat-suratnya yang emosional, penuh
pembrontakan, cerdas, dan hidupnya yang tragis terus membakar semangat
perempuan-perempuan Indonesia.
Aletta Jacobs lahir tahun 1854 di sebuah desa kecil
provinsi Groningen, bagian utara Belanda. Ayah dan kakanya berprofesi sebagai
Dokter. Aletta menjadi perempuan pertama yang menyelesaikan pedidikan sarjana
dan paca sarjan di belanda. Ia juga menjadi Dokter perempuan pertama. Selain
menjadi pelopor gerakan menuntut pendidikan bagi perempuan, Aletta juga menjadi
perempuan pertama yang menuntut haknya untuk memilih. Pada waktu itu hanya
laki-laki saja yang punya hak untuk meilih di belanda. Selain memperjuangkan
pendidikan bagi perempuan dan hak memilih perempuan, Aletta juga mendukung ide
kontrasepsi dan menolak penertiban pelacuran (perempuan) : “Negara yang beradab
tidak seharusnya mengijinkan pasar budak maupun rumah bordil” 6.
Pemberdayaan dan
Pembebasan
Perempuan memberdayakan dirinya
sendiri dan orang lain. Mengamalkan apa yang dimilikinya untuk masyrakat.
Ingatkah kita dengan Dewi Sartika perempuan kelahiran 4 Desember 1884, salah
satu pahlawan yang sering disebutkan namanya dalam pelajaran sejarah di bangku
sekolah. Perjuangannya memberdayakan anak-anak bangsa dengan membangun sebuah
sekolah, mengajarkan kaum perempuan membaca, menghitung, menjahit, memasak serta keterampilan lainnya. Sejak tahun 1902 Dewi Sartika merintits pendidikan untuk kaum
perempuan pertama se-Hindia-Belanda.
Pembebasan atas kemiskinan, pembebasan
atas kebodohan, pembebasan atas sebuah penindasan gender dan pembebasan perbudakan.
Sebagai manusia yang bebas dan dilindungi oleh undang-undang kita harus bisa
berupaya untuk melakukan pembebasan, seperti Dewi Sartika yang berjuang
membebaskan anak-anak bangsa dari pembodohan karena kebodohan mengantarkan pada kemiskinan. Kebebasan bukalah sebuah
teori namun terapan.
Dalam konteks generalisanya perjalanan panjang perempuan
ini di dorong oleh sebuah penindasan fisik maupun pikiran dan diskriminasi
gender. Kompleksifitas permasalahan semakin bercabang dengan muculnya
kolonialisme dan rasisme. Hari ini, dimana semua manusia bebas berbicara dan
masalah gender tidak diperdebatkan lagi, apakah menjadi indikator atas
hilangnya sebuah masalah-masalah yang akan diperjuangkan??
Menurut saya, di Era Demokrasi ini masalah Hak Asasi
Manusia lah yang harus diperhatikan dan diperjuangkan. Isu Trafiking, Pemerkosaan, dan Kekerasan tidak
bisa dilepaskan dari perempuan dan anak. Sebagai Ibu, sebagai salah satu mata
rantai dan sebagai korban itu sendiri. Perempuan dan anak memang selalu menjadi
kelompok minoritas dan warga negara kelas dua. Plato pernah menyebutkan bahwa
perempuan sama halnya dengan budak dan anak-anak. Dia hanya objek bagi
seksualitas laki-laki, dan perbudakan itu dari dulu hingga sekarang masih tetap
ada, dan muncul dalam dimensi baru.
Seperti halnya pada Piagam PBB, Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia pada awalnya juga dikonsepkan dengan frasa “all men” untuk menyebutkan umat manusia. Namun timbulnya kesadaran
bahwa laki-laki dan perempuan harus dijelaskan secara eksplisit dalam hak asasi
manusia maka frasa “all men” diubah
menjadi “all human being”. Kita harus
sadar bahwa deklarasi umum Hak Asasi Manusia adalah Basis standar untuk
perlindungan hak asasi setiap warga dunia. Maka hak-hak asasi perempuan, dan
anak harus di tulis secara eksplisit sebagai perlindungan secara legislasi.
Advokasi dan Legislasi tidaklah cukup. Hari kartini, Hari
Ibu, dan Hari Perempuan Internasional tidaklah mewakili. Gerakan perempuan pun
masih berputar dikalangan perempuan perkotaan dan terdidik. Maka yang
terpenting adalah usaha-usaha pemberdayaan perempuan yang bersifat massal
sampai menyentuh segala tingkatan dan strata.
“Di tangan
perempuan terdapat peluang-peluang yang bila mereka manfaatkan ataupun
menyalahgunakannya berpengaruh pada kehidupan politik negara, dan pengaruhnya
itu, baik yang positif ataupun negatif, akan membentangkan jalan abad-abad yang
belum lahir”--Frances E.W. Harper
Catatan:
1.
Berpusat kepada kegiatan kaum laki-laki saja.
2.
Doreen Kimura, “Sex Differences In the Brain”, Scientific
American, September 1992, hal.85.
3.
Rani Rachmani Moediarta, “Otak Kita, Keunggulan Kita”,
Femina XXVII (23), 17-23 Juni 1999, hal. 27
4.
Sonia Amin, “Empire, Resistance and Gender: Rokeya
Sakhawat Hossein’s Anti Colonial Allegory” dalam Niaz Zaman, Fisdous Azim,
Saskia E. Wieringa, & Shwakat Hussain (ed.), Colonial and post-colonial
encounters, The University Press, Dhaka, 1999.
5.
Saskia E. Wieringa, “Femisnisme Transnasional, Pelajaran
Gelombang Pertama”, Jurnal Perempuan 52, hal. 91.
6.
Aletta Jacobs, Herinneringen, Sun, Nijmegen, 1985
(cetakan pertama 1924). Diterjemahkan oleh Annie Wright sebagai My life as an International Leader in
Health, Suffrage, and Peace, The Feminist Press, New York, 1996, hlm. 41.
·
Mohon maaf jika terdapat kesalahan bahasa maupun
penulisan.
·
Kata-kata yang dikutip telah penulis dokumentasikan dalam
sebuah catatan.
·
Terima kasih telah membaca tulisan ini, semoga bermanfaat.
0 Response to "Mozaik Perjalanan Panjang: Perempuan"